Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 115
Allah I berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nisa’ ayat 115)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya orang-orang mukmin” (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya: Bahwa Allah I telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang Rasul e dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah e dan didakwahkan serta diamalkan oleh Rasulullah e bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya ke mana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing di dalam kesesatan).
Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita mengikuti “jalannya orang-orang mukmin” yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah, diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan: Kenapa “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” di ayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mukmin??
Saya jawab berdasarkan istimbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:
Pertama: Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mukmin di permukaan bumi ini selain dari para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua: Mafhumnya, bahwa orang-orang mukmin yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mukmin yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mukmin sebagaimana ketegasan firman Allah I di atas.
Ketiga: Kalau orang-orang mukmin di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang-orang mukmin yang manakah? Apakah mukminnya Khawarij atau Syiah/Rafidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau… atau…?
Keempat: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Kelima: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah I telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. (Surat Muhammad ayat 16).
Keenam: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling taqwa kepada Allah I secara umum hanyalah para sahabat.
Ketujuh: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.
Kedelapan: Perjalanan orang-orang mukmin yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma’ kecuali ijma’ para sahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara mereka. Demikian juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mukmin”.
Kesembilan: Perjalanan orang-orang mukmin yang tidak pernah berselisih di dalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.
Kesepuluh: Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka. (bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh imam Ibnul Qayyim)
Kesebelas: Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. (idem)
Keduabelas: Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah I memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka. (Surat Al-Baqarah ayat: 13).
Ketigabelas: Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah I dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Keempatbelas: Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merakapun ridha kepada Allah. (surat At-Taubah ayat 100).
Kelimabelas: Perjalanan para sahabat menjadi dasar, bahwa Allah I akan meridhai perjalanannya orang-orang mukmin dengan syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mukmin yang pertama yaitu para sahabat”. Mafhumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya al-Muhajirin dan al-Anshar. (surat At-Taubah ayat 100)
Keenambelas: Sebaik-baik sahabat para Nabi dan Rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah e.
Ketujuhbelas: Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir. (tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath ayat 29).
Kedelapanbelas: Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik. (surat Al-Baqarah ayat 13).
Kesembilanbelas: Rasulullah e telah bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka”. (Hadits shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain).
Generasi pertama adalah para sahabat, yang kedua adalah tabi’in dan yang ketiga adalah tabi’ut-tabi’in. Mereka inilah yang dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’/ mengikuti cara beragama kita dalam memahami dan mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas.
Keduapuluh: Rasulullah e telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan):
فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ
“Hendaklah orang yang hadir di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir”. (Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat).
Hadits yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah e untuk bertabligh dan berdakwah. Sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadits yang mulia ini memberikan pelajaran yang sangat tinggi kepada kita diantaranya:
ü Bahwa dakwah mereka adalah hak dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia e.
ü Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah e. Kalau tidak, tentu Rasulullah e tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
ü Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat.
ü Bahwa mereka telah dita’dil (dinyatakan bersifat ‘adalah: tsiqah/terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah I, dan oleh Nabi mereka. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ke-tsiqah-an mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah atau Rafidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang yang sefaham dengan mereka yang dahulu dan sekarang.
ü Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.
Keduapuluhsatu: Rasulullah e telah bersabda:
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya salah seorang dari kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setengan mud”. (Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim).
Keduapuluhdua: Para sahabat secara umum telah dijanjikan Jannah (sorga). (At-Taubah ayat 100 dan Al-Hadid ayat 10).
Keduapuluhtiga: Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi e sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali t dan lain-lain.
Keduapuluhempat: Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah I di dalam Kitab-Nya yang mulia (tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55).
Keduapuluhlima: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling kuat “ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tarikh.
Keduapuluhenam: Di dalam ayat yang mulia ini Allah I tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: “Barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya kebenaran…, niscaya akan Kami palingkan dia…”. Seandainya Allah I mencukupkannya sampai di situ, yakni tanpa firman-Nya: “Dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin (yaitu para sahabat)”, niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah golongan-golongan dari kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada Islam, baik yang di zaman dahulu maupun yang sekarang ini. Karena masing-masing dari mereka mengatakan, kami di atas Al-Kitab dan As-Sunnah.
Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah I mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –yaitu para sahabat- ”. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mukmin yaitu para sahabat”. Jadi, urutan
dalilnya sebagai berikut:
Al-Qur’an
As-Sunnah
Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragamanya mereka, aqidah dan manhaj.
والله تعالى أعلم بالصواب وهو الموفق والهادي إلى سواء السبيل, وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم, وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Posting Komentar untuk "Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 115"