Tak Usah Sedih, Cintaku…




Karena cinta, terkadang harus bersedih. Cinta pasti membuatnya mampu bertahan. Tetapi kita tetap manusia. Ada batas. Air mata pun tertumpahkan untuk menyejukkan hati. Dan untuk bertahan dalam cinta.
Inilah kisah dan tumpahan hati ibunda kita ummul mu’minin, istri Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dia termasuk istri terakhir yang dinikahi Rasul sebelum Maimunah. Rasul menikahinya pada tahun 7 H, setelah muslimin memenangkan pertarungan melawan Yahudi di benteng-benteng Khaibar. Dia ada di antara tawanan. Dia anak salah satu pembesar Yahudi. Dia satu-satunya istri Nabi yang berasal dari keturunan Yahudi.
Shofiyyah binti Huyay radhiallahu anha.
Yuk, buka telinga kita untuk penuturan ibunda kita Shofiyyah tentang kisahnya. Shofiyyah yang dikenal lembut itu ingin membagi rasa hatinya di tengah para istri Nabi yang lain.
Berikut kalimat-kalimat beliau,
“Aku memilih Allah, rasul dan Islam. Rasul shallallahu alaihi wasallam pun membebaskan aku dari perbudakan dan kemudian menikahiku dengan mahar pembebasanku itu. Ketika beliau ingin kembali ke Madinah, para sahabat berkata:
Hari ini kita akan tahu apakah ia istri atau budak. Jika ia istri, Rasul akan menghijabinya. Kalau tidak berarti dia budak.
Ketika beliau hendak berangkat, beliau memerintahkan untuk menutupinya dan Shofiyyah pun ditutupi.
Maka diketahuilah bahwa aku adalah istrinya. Kemudian beliau mendekat ke untanya dan menyodorkan pahanya untuk aku naik. Shofiyyah merasa ini sangat istimewa, dia pun meletakkan pahanya di atas paha beliau kemudian naik ke unta.
Aku mendapatkan dari istri-istri beliau (hal-hal yang kurang nyaman). Mereka membanggakan diri mereka di atas diriku dan berkata: Wahai putri Yahudi.
Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berusaha menenangkan diriku dan memuliakan aku.
Suatu hari beliau menemuiku, sementara aku sedang menangis. Beliau bertanya: Ada apa denganmu?
Aku menjawab: Istri-istrimu membanggakan diri mereka di atas diriku dan berkata: Wahai putri Yahudi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam marah dan beliau berkata:
Jika mereka berkata kepadamu seperti itu dan membanggakan diri maka katakan:
Bagaimana kalian lebih baik dariku; ayahku Harun, pamanku Musa dan suamiku Muhammad!
(Lihat Maghazi Al Waqidi dan Uyunul Atsar Ibnu Sayyidinnas)
Jazakumullah Ya Rasulallah. 

Engkau telah mengajari kami tentang cinta. Biarlah orang lain belajar cinta dari para pakar cinta di dunia ini. Tetapi kami belajar cinta darimu. Dan kami akan terus belajar darimu.
Kali ini, engkau ajari kami tentang cinta yang mengharuskan kita bertahan. Tentang cinta yang harus menghibur.
Jelas ibunda kami, Shofiyyah bersedih. Ia seperti terasingkan dalam rangkaian keluarga muliamu. Ia hadir belakangan. Setelah semuanya padu. Dia hanya orang baru. Seperti tersingkirkan. Bagaimana tidak, ia hanyalah tawanan perang yang seharusnya menjadi budak. Tetapi karena memilih untuk masuk Islam, maka engkau membebaskannya dan menikahinya dengan mahar pembebasan itu. Dan dia berasal dari keturunan Yahudi, masyarakat hina yang memusuhimu.
Tapi kami telah belajar banyak darimu Ya Rasulullah –jazakumullah athyabal jaza’-. Bagaimana menghibur hati cintamu agar tak larut dalam sedih. Engkau mengajari kami bagaimana mendinginkan luka hatinya. Engkau menunjuki kami cara menghapus air mata kepedihannya. Agar ia tak tersiksa dalam cinta. Agar ia tahu bahwa ia mencintai orang paling istimewa dalam hidupnya.
Engkau tunjukkan di hadapan semua sahabatmu betapa mulianya cintamu yang satu ini. Pahamu yang mulia, engkau sodorkan untuk diinjak oleh kakinya. Betapa mulia dan lembut hatimu. Ia naik ke unta. Dan ia pun naik di mata para sahabatmu.
Tapi bagaimana dengan kalimatyang tak nyaman didengarnya. Masih disebut-sebut: Hai anak Yahudi. Yang membuatnya pedih adalah, ia istrimu. Ia telah dengan setulus hati memilih Allah, dirimu dan Islam ini.
Dan lagi, jazakumullah Ya Rasulallah
Kami sekarang mengerti. Engkau datang hendak menghapus air mata kepedihannya.
Jika mereka berkata kepadamu seperti itu dan membanggakan diri maka katakan:
Bagaimana kalian lebih baik dariku; ayahku Harun, pamanku Musa dan suamiku Muhammad!
Subhanallah, cukup Ya Rasulullah.

Kami mengerti.
Kami akan segera pulang ke rumah.
Dan berkata: Tak usah sedih, cintaku... Karena kamu orang yang istimewa dalam hidupku...

Posting Komentar untuk "Tak Usah Sedih, Cintaku…"