Karena
cinta, terkadang harus bersedih. Cinta pasti membuatnya mampu bertahan. Tetapi
kita tetap manusia. Ada batas. Air mata pun tertumpahkan untuk menyejukkan
hati. Dan untuk bertahan dalam cinta.
Inilah kisah dan tumpahan hati ibunda kita ummul
mu’minin, istri Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dia termasuk istri
terakhir yang dinikahi Rasul sebelum Maimunah. Rasul menikahinya pada tahun 7
H, setelah muslimin memenangkan pertarungan melawan Yahudi di benteng-benteng
Khaibar. Dia ada di antara tawanan. Dia anak salah satu pembesar Yahudi. Dia
satu-satunya istri Nabi yang berasal dari keturunan Yahudi.
Shofiyyah binti Huyay radhiallahu anha.
Yuk, buka telinga kita untuk penuturan ibunda kita Shofiyyah
tentang kisahnya. Shofiyyah yang dikenal lembut itu ingin membagi rasa hatinya
di tengah para istri Nabi yang lain.
Berikut kalimat-kalimat beliau,
“Aku memilih Allah, rasul dan Islam. Rasul shallallahu
alaihi wasallam pun membebaskan aku dari perbudakan dan kemudian menikahiku
dengan mahar pembebasanku itu. Ketika beliau ingin kembali ke Madinah, para
sahabat berkata:
Hari ini kita akan tahu apakah ia istri atau budak. Jika
ia istri, Rasul akan menghijabinya. Kalau tidak berarti dia budak.
Ketika beliau hendak berangkat, beliau memerintahkan
untuk menutupinya dan Shofiyyah pun ditutupi.
Maka diketahuilah bahwa aku adalah istrinya. Kemudian
beliau mendekat ke untanya dan menyodorkan pahanya untuk aku naik. Shofiyyah
merasa ini sangat istimewa, dia pun meletakkan pahanya di atas paha beliau
kemudian naik ke unta.
Aku mendapatkan dari istri-istri beliau (hal-hal yang
kurang nyaman). Mereka membanggakan diri mereka di atas diriku dan berkata:
Wahai putri Yahudi.
Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
berusaha menenangkan diriku dan memuliakan aku.
Suatu hari beliau menemuiku, sementara aku sedang
menangis. Beliau bertanya: Ada apa denganmu?
Aku menjawab: Istri-istrimu membanggakan diri mereka di
atas diriku dan berkata: Wahai putri Yahudi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam marah dan beliau
berkata:
Jika mereka berkata kepadamu seperti itu dan membanggakan
diri maka katakan:
Bagaimana kalian lebih baik dariku; ayahku Harun, pamanku
Musa dan suamiku Muhammad!
(Lihat Maghazi Al Waqidi dan Uyunul Atsar Ibnu
Sayyidinnas)
Jazakumullah Ya Rasulallah.
Engkau telah mengajari kami tentang cinta. Biarlah orang
lain belajar cinta dari para pakar cinta di dunia ini. Tetapi kami belajar
cinta darimu. Dan kami akan terus belajar darimu.
Kali ini, engkau ajari kami tentang cinta yang
mengharuskan kita bertahan. Tentang cinta yang harus menghibur.
Jelas ibunda kami, Shofiyyah bersedih. Ia seperti
terasingkan dalam rangkaian keluarga muliamu. Ia hadir belakangan. Setelah
semuanya padu. Dia hanya orang baru. Seperti tersingkirkan. Bagaimana tidak, ia
hanyalah tawanan perang yang seharusnya menjadi budak. Tetapi karena memilih
untuk masuk Islam, maka engkau membebaskannya dan menikahinya dengan mahar
pembebasan itu. Dan dia berasal dari keturunan Yahudi, masyarakat hina yang
memusuhimu.
Tapi kami telah belajar banyak darimu Ya Rasulullah –jazakumullah
athyabal jaza’-. Bagaimana menghibur hati cintamu agar tak larut dalam
sedih. Engkau mengajari kami bagaimana mendinginkan luka hatinya. Engkau
menunjuki kami cara menghapus air mata kepedihannya. Agar ia tak tersiksa dalam
cinta. Agar ia tahu bahwa ia mencintai orang paling istimewa dalam hidupnya.
Engkau tunjukkan di hadapan semua sahabatmu betapa mulianya
cintamu yang satu ini. Pahamu yang mulia, engkau sodorkan untuk diinjak oleh
kakinya. Betapa mulia dan lembut hatimu. Ia naik ke unta. Dan ia pun naik di
mata para sahabatmu.
Tapi bagaimana dengan kalimatyang tak nyaman didengarnya.
Masih disebut-sebut: Hai anak Yahudi. Yang membuatnya pedih adalah, ia istrimu.
Ia telah dengan setulus hati memilih Allah, dirimu dan Islam ini.
Dan lagi, jazakumullah Ya Rasulallah
Kami sekarang mengerti. Engkau datang hendak menghapus
air mata kepedihannya.
Jika mereka berkata kepadamu seperti itu dan membanggakan
diri maka katakan:
Bagaimana kalian lebih baik dariku; ayahku Harun, pamanku
Musa dan suamiku Muhammad!
Subhanallah, cukup Ya Rasulullah.
Kami mengerti.
Kami akan segera pulang ke rumah.
Dan berkata: Tak usah sedih, cintaku... Karena kamu orang
yang istimewa dalam hidupku...
Posting Komentar untuk "Tak Usah Sedih, Cintaku…"